Berbagai kegiatan dalam menjabarkan Misi LVRI tidak dapat dilaksanakan secara optimal dengan berbagai kendala, terutama masalah internal, yaitu minimnya anggaran; dan eksternal, yaitu keterbatasan LVRI sebagai Ormas untuk koordinasi dengan kementerian.

          Sedangkan kementerian yang mengurusi keveteranan hanya tingkat Direktur Veteran (Ditvet) dengan tugas hanya menangani bidang Minvet, Komsos, dan Data.

          Dengan kondisi yang dihadapi LVRI saat ini dalam menjalankan Visi dan Misi penuh keterbatasan, maka seyogyanya pengurusan keveteranan oleh pemerintah diadakan perubahan melalui reposisi LVRI maupun usulan kementerian dan penguatan lembaga yang sudah ada.

          Hal itu dikatakan Sekjen DPP LVRI Laksdya TNI Purn Djoko Sumaryono dalam paparan Rapat Pembahasan Penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tentang Reposisi LVRI Menjadi Lembaga Non Struktural (LNS) Tahun Anggaran 2025, di Aula Karya Dharma Gedung Veteran, Semanggi, Jakarta Selatan, Rabu (17/9/2025) pagi. Acara dihadiri Waketum II DPP LVRI Marsdya TNI Purn Wresniwiro, para Kadep DPP LVRI, dan para Karo, serta pejabat dari Kemhan dan TNI.

          Selain Sekjen yang menyampaikan paparan, Imam Choirul Muttaqin, Perancang Perundang-undangan Ahli Madya Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN) juga menyampaikan paparan sebagai narasumber.

          Menurut Sekjen, saran alternatif yaitu LVRI menjadi Lembaga Non Struktural (LNS) dengan penguatan ASN, pembentukan Kementerian Urusan Veteran, penguatan Pusat Veteran, dan penetapan Penasehat Khusus Presiden Bidang Veteran.

          Alternatif 1, yaitu LVRI diperkuat menjadi Badan/Lembaga Non Struktural (LNS) dengan perkuatan/ penempatan ASN dan atau TNI/Polri aktif untuk mengelola APBN.

Alternatif 2, yaitu pembentukan Kementerian sebagaimana terdahulu. “Contoh reposisi, Dirjen Haji dan Umroh menjadi Badan Penyelenggara Haji dan Umroh (Keppres), dan kemudian menjadi Kementerian Haji dan Umroh. Sangat sederhana,” katanya.

Alternatif 3, yaitu memperkuat Pusat Veteran menjadi setingkat Badan/Pusat/Dirjen dengan perluasan fungsi.

Alternatif ke-4 yaitu penetapan Penasehat Khusus Presiden Bidang Veteran. Dengan penempatan LVRI sebagai Badan/LNS langsung di bawah Presiden, jelas Sekjen; maka jalur penugasan (dari Presiden) dan pelaporan (dari Ketum LVRI) jelas, tegas, efektif, dan efisien. Tetapi bila tidak memungkinkan (karena LVRI sebagai Ormas), maka diusulkan pengangkatan/penunjukan Penasehat/Staf Khusus Presiden Urusan Veteran bisa pejabat baru atau pejabat/Penasehat/Staf Khusus Presiden yang sudah ada diberikan tugas tambahan. “Idealnya Ketum DPP LVRI ex officio sebagai Penasehat Khusus Presiden  Urusan Veteran,”  tambahnya.

Direktur Veteran Ditjen Pothan Kemhan Brigjen TNI Darwin Saputra, S.I.P., M.Han dalam sambutannya berharap rapat itu dapat menjadi perekat hubungan bagi stakeholder atau pemangku kepentingan terkait sebagai wujud tanggung jawab bersama guna meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan Veteran Republik Indonesia.

Proses atau tahapan dalam melakukan pembahasan atas Penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tentang Reposisi LVRI menjadi Lembaga Non Struktural (LNS) haruslah dilandasi dengan dasar atau pertimbangan yang kuat, sehingga memberikan jaminan kepastian, baik bagi pemerintah maupun LVRI.

Adapun tujuan dan fungsi Reposisi LVRI, kata Direktur Veteran antara lain untuk meningkatkan kemandirian, efektifitas, dan efisiensi dalam pencapaian Visi dan Misi serta menjalankan tugas dan fungsi LVRI. Fungsi-fungsi baru LVRI sebagai Lembaga Non Struktural, termasuk peran dalam melaksanakan Pewarisan JSN ’45, penyediaan layanan, dan penguatan identitas Veteran RI.

Kluster pendirian dan pembubaran LNS, jelas Imam; LNS yang berdiri melalui Peraturan Presiden, asal usul pengaturan atas pendirian serta pembubarannya hanya melalui satu pintu, yakni melalui Presiden, karena lembaga tersebut pendiriannya  hanya melalui Peraturan Presiden.

LNS yang berdiri berdasarkan UU atau Peraturan Pemerintah. Sebagaimana penyusunan UU, lembaga ini harus mendapat persetujuan bersama DPR dan Presiden sebagai konsekuensi konsensus persetujuan UU yang diatur lewat Pasal 20 ayat  (2) UUD NRI tahun 1945 yang berbunyi bahwa “Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.

Lembaga LNS yang disebut dalam UUD NRI tahun 1945. Mekanisme ini dalam pembubaran lembaga negara non-struktural memang lebih rumit dibandingkan dua kluster sebelumnya. Hal yang dapat dilakukan untuk membubarkan lembaga negara yang eksistensinya berada dalam UUD NRI tahun 1945, adalah lewat mekanisme amandemen konstitusi. Dalam hal ini, Indonesia lewat lembaga negara utama, baik Presiden maupun DPR tidak dapat dengan mudah membubarkan lembaga negara  yang masuk dalam kluster ini, kecuali lewat instrumen amandemen UUD NRI 1945.*